ZIARAH WISATA JAWA TENGAH
Karya Tulis
ini disusun
untuk memenuhi
tugas Bahasa Indonesia dan sebagai syarat kenaikan kelas
Disusun Oleh :
1. Ahmad Irfan
Fandi XI IPS 2
2. Dary Zulfi
Hanif XI IPS 2
YAYASAN
PENDIDIKAN ISLAM ( YPI )
MADRASAH
ALIYAH AL BIDAYAH CANDI
KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN SEMARANG
2015/ 2016
HALAMAN PENGESAHAN
Karya tulis ini telah disahkan untuk memenuhi tugas guru pelajaran Bahasa Indonesia
Pada har :
Tanggal :
Candi, 2015
Mengetahui
Kepala
Madrasah Pembimbing
DRS. EDI WINARTO Gendriyani,
S.Pd
NIP. NIP.
PERSETUJUAN
PEMBIMBING
Karya tulis ini telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing untuk disajikan atau diperiksa sebagai tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia
Candi, 2015
Pembimbing
NIP.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Atas
ridho Allah SWT kami dapat menyelesaikan Karya Tulis ini dengan baik tidak ada
suatu halangan. Dengan bangga Karya Tulis ini kami beri judul “ZIARAH
WISATA DI JAWA TENGAH”
Penulis berharap Karya Tulis yang
kami susun ini dapat memberikan manfaat sebagai penambah wawasan bagi para
pembaca.
Penulis
menyadari, bahwa Karya Tulis ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dan
orang-orang disekitar penulis. Maka dengan rasa suka cita, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1.
Bapak Drs. Edi Winarto
selaku Kepala Madrasah Aliyah Al Bidayah Candi;
2. Bapak Effendi Fitriawan, S.Pd selaku guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia;
3. Ibu Gendriyani,S.Pd selaku pembimbing;
4. Segenap dewan guru dan staf karyawan Madrasah Aliyah
Al Bidayah Candi;
5. Kedua orang tua yang telah memberikan do’a beserta semangatnya;
6. Para pembaca yang penulis cintai;
Penulis
berharap, semoga dengan adanya Karya Tulis ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembaca.
Penulis
juga mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan Karya Tulis kami
selanjutnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Candi,
Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
2.4 Jawa
2.5 Bali
3.1 Jenis Penelitian
3.2.1 Observasi
3.2.2 Dokumentasi
5.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kegiatan ziarah wisata
adalah kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh MA AL Bidayah bagi siswa
kelas XI. Ziarah wisata adalah salah satu sarana untuk menyegarkan pikiran
sekaligus untuk menambah wawasan tentang tempat-tempat ziarah dan tempat-tempat
wisata di Jawa Tengah.
Minimnya pengetahuan
tentang tempat-tempat ziarah dan wisata maka penulis akan menjelaskan bagaimana
cara pelaksanaan ziarah wisata di Jawa Tengah, hal ini untuk menambah wawsan bagi pembaca.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Bagaimana
pelaksanaan ziarah wisata di Jawa Tengah?
1.2.2 Apa
dampak negatif dan positif dari kegiatan ziarah wisata ini?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1
Menambah wawasan bagi para pembaca tentang tempat ziarah dan wisata di Jawa Tengah.
1.3.2
Melatih kemampuan penulis dalam menyusun sebuah laporan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Memberikan
sumbangan pengetahuan mengenai kegiatan
ziarah wisata di Jawa Tengah.
1.4.2 Memberikan alternatif pemilihan kegiatan study
tour bagi siswa Madrasah Aliyah.
15
Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Tujuan Penulisan
1.3
Manfaat Penelitian
1.4
Metode Pengumpulan Data
1.5
Sistematika Penulisan
BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1
Pengertian ziarah
2.2
Pengertian wisata
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
3.2
Waktu dan Tempat
3.3
Metode Pengumpulan Data
BAB IV METODE PENELITIAN
1.
Makam Raden
Patah
2.
Makam Sunan
Kalijaga
3.
Makam Sunan
Kudus
4.
Syeikh Jumadil
Kubro
5.
Hasan Munadi
dan Hasan Dipuro
6.
Masjid Agung
Demak
7.
Masjid agung
Jawa Tengah
8.
Masjid Menara
Kudus
9.
Lawang Sewu
10. Candi Gedong Songo
BAB V PENUTUP
5.1
Simpulan
5.2
Saran
BAB II
LANDASAN
TEORITIS
2.1
PENGERTIAN ZIARAH
Kata ziarah menurut bahasa berarti menengok atau
mengunjungi, jadi ziarah kubur artinya menengok atau mengunjungi kubur.
Sedangkan menurut syariat islam ziarah bukan hanya menengok kubur, bukan pula
sekedar tahu dimana ia dikubur atau makam, akan tetapi kedatangan seseorang
dengan maksud untuk mendo’akan kepada ahli kubur yang muslim dan mengirim
pahala untuknya. Atas bacaan ayat-ayat Al Qur’an dan kalimah-kalimah thayyibah seperti
tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lain-lain .
2.1.1 Manfaat Ziarah
a)
Ia akan
mengingatkan akhirat dan kematian sehingga dapat memberikan pelajaran dan ibrah
bagi orang yang berziarah.
b)
Mendo’akan
keselamatan bagi orang-orang yang telah meninggal dunia.
2.1.2 Tujuan Ziarah
a.
Peziarah mengambil manfaat dengan mengingat mati dan
orang yang telah mati.
b.
Orang yang
meninggal mendapat kebaiakan dengan perbuatan baik dan salam untuknya serta
mendapat do’a permohonan ampunan.
2.2 PENGERTIAN WISATA
Wisata adalah
perjalanan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang dengan mengunjungi
tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari
daya tarik wisata yang dikunjunginya dalam jangka waktu sementara.
2.2.1 Manfaat Wisata
a.
Dengan
berwisata maka kita akan menjadi lebih segar.
b.
Mengetahui
keadaan keindahan alam di Indonesia.
2.2.2 Tujuan Wisata
a.
Melestarikan
alam lingkungan dan sumber daya.
b.
Memajukan
kebudayaan.
c.
Mengangkat
citra bangsa.
d.
Memupuk rasa cinta
tanah air.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
JENIS PENELITIAN
3.1.1 Penelitian Deskriptif
adalah salah satu jenis metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan
menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya. (Best, 1982 : 119)
3.1.2 Penelitian
kualitatif adalah suatu pendekatan yang
peneliti mengumpulkan data secara langsung dan berinteraksi dengan orang-orang
ditempat penelitian. (Mc.Millan dan
Schumacher, 2003)
3.2 WAKTU DAN TEMPAT
PENELITIAN
3.2.1 Waktu Pelaksanaan
Hari :
Tanggal :
Berangkat pukul :
3.2.2 Tempat
Ziarah
1.
Makam Raden
Patah
2.
Makam Sunan
Kalijaga
3.
Makam Sunan
Kudus
4.
Syeikh Jumadil
Kubro
5.
Hasan Munadi
dan Hasan Dipuro
Wisata
1.
Masjid Agung
Demak
2.
Masjid agung
Jawa Tengah
3.
Masjid Menara
Kudus
4.
Lawang Sewu
5.
Candi Gedong
Songo
3.3 METODE PENGUMPULAN DATA
3.3.1
Metode Observasi (Pengamatan)
Dengan
metode ini, kami secara langsung
mengunjungi tempat ziarah wisata.
3.3.2
Metode Wawancara (Interview)
Mencari
informasi menggunakan system tanya jawab dengan narasumber, seperti juru kunci
ataupun penduduk sekitar.
3.3.3
Metode Dokumentasi
Mencari
beberapa gambar secara langsung dengan kamera, ponsel maupun mengambil dari
media internet.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1
Raden
Patah
Raden Patah adalah pendiri Kerajaan
Demak sekaligus menjadi sultan demak pertama. Raden Patah bergelar sultan Alam
Akbar Al Fatah, beliau memerintah sejak
tahun 1500 M – 1518 M. Diketahui Raden Patah adalah putra terakhir dari Prabu
Brawijaya Raja terakhir Majapahit. Ia masuk islam dan berguru pada Sunan Ampel,
lalu mempersunting putrinya. Dengan bantuan para sunan, Raden Patah melakukan
penyerangan ke Majapahit. Dari penyerangan itu Raden Patah berhasil merebut
tahta miliknya dari tangan Girindra Wardhana, kemudian memindahkan pusat
kekuasaan ke Kerajaan Demak. Di bawah kekuasaan Raden Patah, agama islam
semakin berkembang pesat. Pada masa ini pula di bangun Masjid Agung Demak yang
hingga kini masih berdiri di alun-alun kota Demak. Dibawah pimpinan Raden Patah
Kesultanan Demak berkembang semakin pesat. Perekonomian Kesultanan ini pun
begitu kuat dan stabil. Raden Patah wafat pada tahun 1518 M dan digantikan oleh
puteranya Raden Pati Unus untuk memimpin Demak.
4.2 Sunan
Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden
Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran
Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di
Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di
sungai (kali), atau jaga kali. Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau
Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa.
Makamnya berada di Kadilangu, Demak. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan
mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta
awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan
Senopati. Ia ikut
pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung
Demak. Tiang
"tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat
yang menyatakan bahwa beliau juga masih keturunan Arab. Tapi,
banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli.
Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut BabadTuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara,
dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria
Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah
cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said
adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa
Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya
adalah Umar Said atau Sunan Muria.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar
Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah. Dalam dakwah, ia
punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf"
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat
bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus
didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah
menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja").
Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian
besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah
adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.Ketika
wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak
(Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
4.3
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden
Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom
Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah
keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal
Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq.
Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan
Demak Bintoro dan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan
wafat pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang
untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto dia menjadi
penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan
Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan
Demak.
Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran
yang besar dalam pemerintah kasultanan Demak yaitu, sebagai panglima perang,
penasehat Sultan Demak, Mursyid thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak
berdakwah di kalangan kaum pengusaha dan penyanyi jawa. Diantara yang pernah
menjadi muridnya ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang
Adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalan yang terkenal ialah Masjid
Menara Kudus, yang arsitrekturnya bergaya campuran hindu dan islam. Sunan Kudus
diperkirakan wafat Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi
Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
4.4 Syeikh Maulana Muhamad Jumadil Qubro
Berbicara
mengenai Syeikh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) kita berbicara mengenai
pendahulu para wali Allah dan pendahulu para habaib di Nusantara Indonesia
ini. Tokoh penting dalam penyebaran Islam di Indonesia ini bahkan
memiliki 4 empat tempat yang dipercaya sebagai peristirahatan terakhir Syekh
Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro).
Salah
satunya makam Syeikh Jumadil Kubro (Jamaluddin al-Husain al-Akbar) yang berada
di Semarang,terletak di jalan Yos Sudarso No. 1 Kelurahan Terboyo Kulon,
Kecamatan Genuk dan acara doa bersama. Di makam Syekh Jumadil Kubro (Syech
Jumadil Qubro) secara regular diadakan acara manaqib setiap malam Jumat Paing
jam 19.00 dan pada acara peringatan Maulid Nabi sedangkan setiap Jumat Legi
diadakan acara Mujahadah Kubro dan pengajian. Untuk Khaul Akbar diadakan setiap
tahun sekali pada bulan Dzulhijjah Jumat terakhir dengan membawa maulidurrosul
dan tahlil.
Mengenai
Biografi dan siapakah Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) juga memiliki
banyak versi sejarah. Nama asli dari Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil
Qubro) terdapat dua versi yaitu Syeikh Jamaluddin al Husain al Akbar dan Syekh
Jamaluddin Akbar dari Gujarat (Martin van Bruinessen,1994). Semua pendapat
mengenai Biografi dan siapakah Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro)
mengarah pada 2 pendapat sejarah mengenai beliau termasuk silsilah beliau dan
sejarah penyebaran Islam yang beliau lakukan.
Beliau
adalah cucu ke-18 Rasulullah Muhammad SAW dari garis Sayyidah Fatimah Az Zahrah
al-Battul. Ayahnya bernama Syeikh Jalal yang karena kemuliaan akhlaknya mampu
meredam pertikaian Raja Champa dengan rakyatnya. Sehingga, Syeikh Jalal
diangkat sebagai raja dan penguasa yang memimpin Negara Champa.
Menurut
cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari
keturunan Syeikh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan
dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah
Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar datuk Sunan
Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Syeikh
Jamaluddin tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya sendiri. Setelah
dewasa, beliau mengembara ke negeri datuknya di Hadramaut. Di sana beliau
belajar dan mendalami beragam ilmu dari beberapa ulama yang terkenal di
zamannya. Bahkan keilmuan yang beliau pelajari meliputi Ilmu Syari’ah dan
Tasawwuf, di samping ilmu-ilmu yang lain.
Selanjutnya,
beliau melanjutkan pengembaraannya dalam rangka mencari ilmu dan terus
beribadah ke Mekkah dan Madinah. Tujuannya adalah mendalami beragam keilmuan,
terutama ilmu Islam yang sangat variatif. Setelah sekian lama belajar dari
berbagai ulama terkemuka, kemudian beliau pergi menuju Gujarat untuk berdakwah
dengan jalur perdagangan. Melalui jaringan perdagangan itulah beliau berjumpa
dengan ulama lainnya yang juga menyebarkan Islam di Jawa.
Kemudian
beliau dakwah bersama para ulama’ termasuk para putra-putri dan santrinya
menuju tanah Jawa. Mereka menggunakan tiga kenderaan laut, sekaligus terbagi
dalam tiga kelompok dakwah. Kelompok pertama dipimpin Syeikh Jumadil Kubro
memasuki tanah Jawa melalui Semarang dan singgah beberapa waktu di Demak.
Selanjutnya perjalanan menuju Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil
bernama Trowulan yang berada di dekat kerajaan Majapahit. Kemudian jamaah
tersebut membangun sejumlah padepokan untuk mendidik dan mengajarkan beragam
ilmu kepada siapa saja yang hendak mendalami ilmu keislaman.
Kelompok
kedua, terdapat cucunya yang bernama al-Imam Ja’far Ibrahim Ibn Barkat Zainal
Abidin dibantu saudaranya yakni Malik Ibrahim menuju kota Gresik. Dan kelompok
ketiga adalah jamaah yang dipimpin putranya yakni al-Imam al-Qutb Sayyid
Ibrahim Asmoro Qondy menuju Tuban. Namanya masyhur dengan sebutan “Pandhito
Ratu” karena beliau memperoleh Ilmu Kasyf (transparansi dan keserba jelasan
ilmu/ilmu yang sulit dipahami orang awam, beliau diberi kelebihan memahaminya).
Beliau
wafat tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup di antara dua Raja
Majapahit (awal Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam
Wuruk). Bermula dari usul yang diajukan Syeikh Jumadil Kubro kepada penguasa
Islam di Turki (Sultan Muhammad I) untuk menyebarkan Agama Islam si wilayah
Kerajaan Majapahit. Pada saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama
Hindu di samping keyakinan masyarakat pada arwah leluhur dan benda-benda suci.
Keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang menunjukkan perjuangan
Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan Agama Islam melawan penguasa Majapahit
sangatlah besar.
Pengaruh
beliau dalam memberikan pencerahan bekehidupan yang berperadaban, Syeikh
maulana Jumadil Kubro dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara
dakwah yang pelan tapi pasti, menjadikan beliau amat disegani pada zaman itu.
4.5 Hasan Munadi dan Hasan Dipuro
Di wilayah Ungaran Kabupaten Semarang
juga dikenal penyebar agama Islam bernama Syaikh Hasan Munadi dari Desa
Nyatnyono. Beliau adalah menantu dari Ki Ageng Makukuhan, seorang aulia yang
dimakamkan di daerah Kedu Temanggung Jawa Tengah. Beberapa bekas peninggalan
Hasan Munadi yang konon disebut-sebut sebagai keturunan Brawijaya V itu, hingga
sekarang juga masih dapat dijumpai di wilayah Ungaran dan Gunungpati Semarang.
Dalam perjalanannya, Hasan Munadi juga
pernah singgah dan mengajarkan agama Islam di Desa Nongkosawit Gunungpati
Semarang. Hal itu dibenarkan Sutiknyo (47) warga RT 01 RW 01 Desa Nongkosawit
yang juga sebagai juru kunci salah satu peninggalan Syaikh Hasan Munadi berupa
empat sakaguru beserta tumpang sari masjid.
”Dulu Syaikh Hasan Munadi pernah
menyebarkan agama Islam dan hendak mendirikan masjid. Namun karena sudah lama
tidak pernah menengok kampung halaman di Nyatnyono, beliau kemudian mau
pulang,” kata Sutiknyo.
Saat hendak pulang ke desanya,
pembangunan masjid di Desa Nongkosawit belum selesai. Meskipun demikan, dia
sudah berpesan kepada para kiai dan santrinya untuk terus melaksanakan
pembangunan masjid dan mengaji seperti yang telah diajarkannya kepada mereka.
Ketika sampai di tengah perjalanan
menuju kampung halaman, perasaan Syaikh Hasan Munadi tidak enak. Dia kemudian
kembali lagi ke Desa Nongkosawit dan melihat dari kejauhan kalau warga sekitar
ternyata tidak melaksanakan pesannya untuk terus mengaji, melainkan justru
klonengan dan janggrungan. Melihat hal itu, Syaikh Hasan Munadi kemudian
bersabda bahwa hingga sampai kapan pun, tidak akan ada santri atau kiai kondang
dari Desa Nongkosawit.
”Selain sakaguru masjid, beliau
juga meninggalkan benda pusaka berupa bende di wilayah ini dan setiap tahun
pada bulan Rajab ada tradisi arak-arakan bende,” terang Sutiknyo. Sementara
peninggalan lain adalah sebuah pusaka bedug yang kini berada di Desa Randusari
Gunungpati.
Di Ungaran, salah satu bangunan
peninggalan dari Hasan Munadi adalah Masjid Subulussalam Nyatnyono. Masjid yang
dikenal dengan nama Masjid Karomah Hasan Munadi tersebut bahkan dipercaya lebih
tua daripada Masjid Agung Demak.
Konon menurut cerita, sebelum
mengerjakan masjid tersebut, Hasan Munadi didatangi Sunan Kalijaga. Saat itu
dia diminta membantu pembangunan Masjid Agung Demak yang juga akan didirikan.
Hasan Munadi bersedia memenuhi permintaan Sunan Kalijaga dengan sebuah syarat,
yakni meminta Walisanga menyelesaikan masjid di lereng timur Gunung Ungaran
dulu sebelum membangun Masjid Demak.
Kepada Sunan Kalijaga, dia meminta salah
satu tiang penyangga yang akan digunakan untuk mendirikan Masjid Demak dan
permintaan tersebut dikabulkan. Sunan Kalijaga mengantarkan salah satu tiang
yang diminta ke Nyatnyono. Pada awal pembangunannya, masjid tua itu hanya
didirikan dengan satu tiang. Namun, pada zaman Belanda, oleh Kiai Raden Purwo
Hadi ditambah menjadi empat saka (tiang). Pada 1985 masjid tersebut direnovasi
oleh masyarakat tanpa mengubah posisi atau jumlah tiangnya.
Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa
Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan pangkat
tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk
kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak. Hasan Munadi kemudian
memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia
130 tahun. Beliau meninggal dan kemudian dimakamkan di kampung halaman
Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.
Tak jauh dari Makam Hasan Munadi,
terdapat pula pemandian / sendang yang konon dahulunya untuk tempat mandi dan
mengambilan air wudhu dari Hasan Munadi, yang dikenal dengan nama Air Keramat
Sendang Kalimat Thoyibah. Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya
tongkat dari Hasan Munadi ditancapkan ketanah. Bila kita rasakan air tersebut
maka air tersebut seperti air zam zam. Konon air keramat Sendang Kalimat
Thoyibah berkhasiat istimewa wasilah mengobati segala penyakit.
Namun pengunjung sebelum mandi
diwajibkan untuk mengganti pakaian dengan sarung dan juga tidak diperbolehkan
memakai perhiasan, cincin, gelang dan lain sebagainya. Bila kita lupa membawa
sarung maka disediakan jasa untuk penyewaan sarung dipintu masuk sendang air Sendang
Kalimat Thoyibah.
Berikut ini tata cara tahlil untuk mandi
di Air Keramat Sendang Thoyibah, dibaca sebelum mandi/sebelum air digunakan
untuk wasilah atau apa saja yang tidak bertentangan dengan agama :
1)
Uluk
salam kepada Nabi Khidir as. "Assalamu'alaika Ya Nabiyyallahi Khidir Balya
Bin Malkaan'alahissalam.
2)
Membaca
dua kalimat syahadat (3 X)
3)
Berwudhu
seperti biasa. "Nawaitu Wudhu'a Liraf'il Khakimul Khadatsil Ashghari
Fardhal Lillahi Ta'alaa."
4)
Membaca
Surat Al-Fatikhah dikhususkan kepada waliyullah Hasan Munadi dan waliyullah
Hasan Dipuro. Illa khadroti Waliyullah Hasan Munadi wa ilaa khadrati Waliyullah
Hasan Dipuro (3 X).
5)
Membaca
shalawat Nabi SAW kemudian berdo'a kepada Allah SWT sebelum mandi. "
Allahumma shalli 'alaa Sayyidinaa Muhammad (7 X).
4.6 Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak adalah salah satu mesjid tertua yang ada di Indonesia. Masjid ini terletak di Kampung Kauman,
Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat
berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Walisongo. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan
Demak
sekitar abad ke-15 Masehi.
Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan
memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra
sengkala memet, dengan arti Sarira
Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus
terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4
(empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu).
Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk
dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang
utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi
merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid
terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3)
Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, mengandung candra
sengkala,
yang dapat dibaca Naga Mulat Salira
Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak,
terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di kompleks ini juga
terdapat Museum
Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat Masjid Agung Demak.
4.7 Masjid Agung Jawa Tengah Semarang
Masjid ini mulai dibangun sejak tahun
2001 hingga selesai secara keseluruhan pada tahun 2006. Masjid ini berdiri di
atas lahan 10 hektare. Masjid Agung diresmikan oleh Presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono
pada tanggal 14 November 2006. Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) merupakan masjid provinsi bagi
provinsi Jawa Tengah
Keberadaan bangunan masjid ini tak
lepas dari Masjid Besar Kauman Semarang. Pembangunan MAJT berawal dari kembalinya tanah banda
(harta) wakaf milik Masjid Besar Kauman Semarang yang telah sekian lama tak
tentu rimbanya. Raibnya banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang berawal dari
proses tukar guling tanah wakaf Masjid Kauman seluas 119.127 ha yang dikelola
oleh BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) bentukan Bidang Urusan Agama Depag Jawa
Tengah. Dengan alasan tanah itu tidak produktif, oleh BKM tanah itu di tukar
guling dengan tanah seluas 250 ha di Demak lewat PT. Sambirejo. Kemudian
berpindah tangan ke PT. Tensindo milik Tjipto Siswoyo.
Hasil perjuangan banyak pihak untuk
mengembalikan banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang itu ahirnya berbuah
manis setelah melalui perjuangan panjang. MAJT sendiri dibangun di atas salah
satu petak tanah banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang yang telah kembali
tersebut.
Pada tanggal 6 juni 2001 Gubernur Jawa Tengah membentuk Tim Koordinasi
Pembangunan Masjid Agung Jawa Tengah untuk menangani masalah-masalah baik yang
mendasar maupun teknis. Berkat niat yang luhur dan silaturahmi yang erat, dalam
waktu kerja yang amat singkat keputusan-keputusan pokok sudah dapat
ditentukan : status tanah, persetujuan pembiayaan dari APBD oleh DPRD Jawa Tengah, serta pemiilhan lahan tapak dan
program ruang.
Kemudian pembangunan masjid tersebut
dimulai pada hari Jumat, 6 September 2002 yang ditandai dengan pemasangan tiang
pancang perdana yang dilakukan Menteri Agama Ri, Prof. Dr. H. Said Agil Husen al-Munawar, KH. MA Sahal Mahfudz dan Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto. Pemasangan tiang pancang pertama
tersebut juga dihadiri oleh tujuh duta besar dari Negara-negara sahabat, yaitu
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Mesir, Palestina, dan Abu Dabi.
Dengan demikian mata dan perhatian dunia internasional pun mendukung
dibangunnya Masjid Agung Jawa Tengah tersebut.
MAJT diresmikan pada tanggal 14
November 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono. Masjid dengan luas
areal tanah 10 Hektar dan luas bangunan induk untuk salat 7.669 meter persegi
secara keseluruhan pembangunan Masjid ini menelan biaya sebesar Rp
198.692.340.000.
Meskipun baru diresmikan pada tanggal
14 Nopember 2006, namun masjid ini telah difungsikan untuk ibadah jauh sebelum
tanggal tersebut. Masjid megah ini telah digunakan ibadah Salat Jumat untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Maret 2004 dengan Khatib Drs. H. M. Chabib Thoha, MA, (Kakanwil Depag Jawa
Tengah).
Masjid Agung Jawa Tengah dirancang
dalam gaya arsitektural campuran Jawa, Islam dan Romawi. Diarsiteki oleh Ir. H.
Ahmad Fanani dari PT. Atelier Enam Jakarta yang memenangkan sayembara desain
MAJT tahun 2001. Bangunan utama masjid beratap limas khas bangunan Jawa namun
dibagian ujungnya dilengkapi dengan kubah besar berdiameter 20 meter ditambah
lagi dengan 4 menara masing masing setinggi 62 meter ditiap penjuru atapnya
sebagai bentuk bangunan masjid universal Islam lengkap dengan satu menara
terpisah dari bangunan masjid setinggi 99 meter.
Gaya Romawi terlihat dari bangunan 25
pilar dipelataran masjid. Pilar pilar bergaya koloseum Athena di Romawi dihiasi kaligrafi kaligrafi yang indah, menyimbolkan 25 Nabi dan
Rosul, di gerbang ditulis dua kalimat syahadat, pada bidang datar tertulis huruf Arab Melayu “Sucining Guno Gapuraning Gusti“.
Masjid Agung Jawa Tengah ini, selain
disiapkan sebagai tempat ibadah, juga dipersiapkan sebagai objek wisata
religius. Untuk menunjang tujuan tersebut, Masjid Agung ini dilengkapi dengan wisma
penginapan dengan kapasitas 23 kamar berbagai kelas, sehingga para peziarah
yang ingin bermalam bisa memanfaatkan fasilitas.
Daya tarik lain dari masjid ini adalah
Menara Al Husna atau Al Husna Tower yang tingginya 99 meter. Bagian dasar dari
menara ini terdapat Studio Radio Dais (Dakwah Islam). Sedangkan di lantai 2 dan
lantai 3 digunakan sebagai Museum Kebudayaan Islam, dan di lantai 18 terdapat Kafe Muslim yang dapat
berputar 360 derajat. Lantai 19 untuk menara pandang, dilengkapi 5 teropong
yang bisa melihat kota Semarang. Pada awal Ramadhan 1427 H lalu, teropong di masjid ini
untuk pertama kalinya digunakan untuk melihat Rukyatul Hilal oleh Tim Rukyah Jawa Tengah
dengan menggunakan teropong canggih dari Boscha.
Di dalam area MAJT terdapat Menara
Asma Al-Husna Setinggi 99 Meter terdiri dari : lantai 1 untuk Studio Radio
DAIS MAJT, lantai 2 untuk museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, Lantai 18
rumah makan berputar, lantai 19 Gardu pandang kota Semarang dan lantai 19
Tempat rukyat al-hilal.
Area serambi Masjid Agung Jawa Tengah
dilengkapi 6 payung raksasa otomatis seperti yang ada di Masjid Nabawi, Tinggi masing masing payung elektrik
adalah 20 meter dengan diameter 14 meter. Payung elektrik dibuka setiap salat
Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dengan catatan kondisi angin tidak
melebihi 200 knot, namun jika pengunjung ada yang ingin melihat proses
mengembangnya payung tersebut bisa menghubungi pengurus masjid.
MAJT memiliki koleksi Al Quran raksasa berukuran 145 x 95 cm².
Ditulis tangan oleh Drs. Khyatudin, dari Pondok Pesantren Al-Asyariyyah,
Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo. Lokasi berada di dalam ruang utama tempat
salat. Bedug raksasa berukuran panjang
310 cm, diameter 220 cm. Merupakan replika bedug Pendowo Purworejo.
Dibuat oleh para santri pondok pesantren Alfalah, Tinggarjaya,
Jatilawang, Banyumas, asuhan KH Ahmad Sobri, menggunakan kulit lembu Australia.
4.8 Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid
Al Manar) adalah sebuah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu Baitul
Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama. Masjid ini terletak di
desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu. Pada masa kini, masjid ini biasanya menjadi pusat
keramaian pada festival dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk menyambut
bulan Ramadan.
Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas
dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana
para walisongo yang lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang
amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, dia mampu melakukan adaptasi dan
pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan
dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha. Pencampuran budaya Hindu dan Budha
dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya
dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini.
Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan
panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.
Masjid Menara Kudus ini memiliki 5 buah pintu
sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah.
Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal
dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar
dari semula karena pada tahun 1918-an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat
kolam masjid, kolam yang merupakan "padasan" tersebut merupakan peninggalan kuna dan dijadikan sebagai tempat wudhu.
Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang
terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai
"Lawang Kembar".
Di komplek Masjid juga terdapat pancuran
untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas pancuran itu diletakkan arca.
Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan
Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika
Marga.
Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18
meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias
dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh
buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan
kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M.
Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu
Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki,
(2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir
dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada
penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik
konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang
berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.
Pada bagian puncak atap tajug terdapat
semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk
pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.
4.9 Lawang Sewu
Lawang Sewu (bahasa Indonesia: seribu pintu)
adalah gedung gedung bersejarah di Indonesia yang berlokasi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Gedung ini, dahulu yang merupakan
kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein.
Masyarakat setempat menyebutnya Lawang
Sewu karena bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak, meskipun kenyataannya, jumlah pintunya tidak
mencapai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga
masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Bangunan kuno dan megah berlantai dua
ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik
Indonesia (DKARI) atau sekarang PT
Kereta Api Indonesia.
Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer
(Kodam
IV/Diponegoro) dan
Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian
Perhubungan Jawa
Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri
yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober - 19 Oktober 1945). Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda
AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota
Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan
kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
Saat ini bangunan tua tersebut telah
mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit
Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero.
Bangunan Lawang Sewu dibangun pada 27 Februari 1904 dengan nama lain Het hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg
Maatschappij (Kantor Pusat NIS). Awalnya kegiatan administrasi perkantoran
dilakukan di Stasiun
Semarang Gudang
(Samarang NIS), namun dengan berkembangnya jalur jaringan kereta yang sangat
pesat, mengakibatkan bertambahnya personil teknis dan tenaga administrasi yang
tidak sedikit seiring berkembangnya administrasi perkantoran.
Pada akibatnya kantor NIS di stasiun
Samarang NIS tidak lagi memadai. Berbagai solusi dilakukan NIS antara lain menyewa
beberapa bangunan milik perseorangan sebagai solusi sementara yang justru
menambah tidak efisien. Apalagi letak stasiun Samarang NIS berada di dekat rawa sehingga urusan sanitasi dan kesehatan pun menjadi pertimbangan penting.
Maka, diusulkanlah alternatif lain: membangun kantor administrasi di lokasi
baru. Pilihan jatuh ke lahan yang pada masa itu berada di pinggir kota
berdekatan dengan kediaman Residen. Letaknya di ujung Bodjongweg
Semarang (sekarang Jalan Pemuda), di sudut pertemuan Bodjongweg dan Samarang
naar Kendalweg (jalan raya menuju Kendal).
NIS mempercayakan rancangan gedung
kantor pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan
B.J. Quendag, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan dilakukan
di Belanda, baru kemudian gambar-gambar dibawa
ke Kota
Semarang. Melihat
dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwa site plan dan denah bangunan
ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangani di
Amsterdam tahun 1903.
4.10
Candi Gedong
Songo
Candi Gedong
Songo adalah nama sebuah
komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan
Bandungan, Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat
sembilan buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Candi ini memiliki persamaan dengan
kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian
sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin
(berkisar antara 19-27 °C).
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng
Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Selain itu, objek
wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang mengandung belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda.
Candi Gedong Songo berada di lereng Gunung Ungaran, tepatnya di Candi Gedongsongo, Dusun
Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang dan kompleks candi ini dibangun pada
abad ke-9 Masehi. Gedong Songo berasal dari bahasa Jawa, “Gedong” berarti rumah
atau bangunan, “Songo” berarti sembilan. Jadi Arti kata Gedongsongo adalah
sembilan (kelompok) bangunan.
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng
Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar lokasi juga
terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang.
Kabut tipis turun dari atas gunung sering muncul mengakibatkan mata tidak dapat
memandang Candi Gedongsongo dari kejauhan. Candi ini memiliki persamaan dengan
kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar
1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin. Untuk
menuju ke Candi Gedong I, kita harus berjalan sejauh 200 meter melalui jalan
setapak yang naik. Anda bisa memanfaatkan jasa transportasi kuda untuk
berwisata mengelilingi obyek wisata Candi Gedongsongo. Tahun 1740, Loten
menemukan kompleks Candi Gedong Songo. Tahun 1804, Raffles mencatat kompleks
tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena hanya ditemukan tujuh kelompok
bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1925, Friederich dan
Hoopermans membuat tulisan tentang Gedong Songo pada tahun 1865. Tahun 1908 Van
Stein Callenfels melakukan penelitian terhadapt kompleks candi dan Knebel
melakukan inventarisasi pada tahun 1910-1911.
Disela-sela antara Candi Gedong III
dengan Gedong IV terdapat sebuah kepunden gunung sebagai sumber air panas
dengan kandungan belerang cukup tinggi. Para wisatawan dapat mandi dan
menghangatkan tubuh disebuah pemandian yang dibangun di dekat kepunden
tersebut. Bau belerangnya cukup kuat dan kepulan asapnya lumayan tebal ketika
mendekati sumber air panas tersebut. Karena keindahannya Candi Gedong Songo ini
sering menjadi tempat yang indah untuk foto foto Pre Wedding.
Tiket Masuk: Dewasa/5 tahun ke atas:
Rp 5.000/orang dan Rp 25.000/orang untuk Wisatawan Asing [2012].
Tarif
Jasa Naik Kuda Candi Gedong Songo
1) Wisata Desa Rp 25.000 (Wisman Rp
35.000)
2) Ke Air Panas Rp 40.000 (Wisman Rp
60.000)
3) Ke Candi II Rp 30.000 (Wisman Rp
40.000)
4) Paket candi Songo Rp 50.000 (Wisman Rp
70.000)
Untuk menuju Candi Gedong Songo
diperlukan perjalanan sekitar 40 menit dari Kota Ambarawa dengan jalanan yang
naik, dan kemiringannya sangat tajam. Lokasi candi juga dapat ditempuh dalam
waktu 10 menit dari obyek wisata Bandungan. Berikut daftar jarak tempuh menuju
candi ini.
1) Ungaran – Gedong Songo : 25 km
2) Ambarawa – Gedong Songo : 15 km
3) Semarang – Gedong Songo : 45 km
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Kegiatan
ziarah wisata ke daerah Jawa Tengah merupakan
kegiatan tahunan di MA AL BIDAYAH Candi yang selalu dilaksanakan bagi kelas XI.
Kegiatan ziarah wisata ke daerah Jawa Tengah merupakan kegiatan yang memiliki manfaat, yaitu
dapat melakukan
ziarah ke makam – makam Waliyullah atau tokoh penting
dan juga dapat digunakan sebagai sarana
untuk menambah pengetahuan, serta mendapat hiburan.
B. Saran
1.
Jangan
mengotori tempat ziarah dan tempat wisata.
2.
Jangan
melanggar peraturan tempat - tempat ziarah wisata.
3.
Kegiatan
ziarah wisata sebaiknya direncanakan secara matang agar kegiatan dapat
dilaksanakan dengan baik.
4.
Kegiatan
ziarah wisata dapat dijadikan alternatif pemilihan study tour.
DAFTAR PUSTAKA
www.geogle.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar