Jumat, 30 September 2016

Contoh Laporan Study Tour ZIARAH WISATA ke JAWA TENGAH



ZIARAH  WISATA  JAWA TENGAH

Karya Tulis ini disusun untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia dan sebagai syarat kenaikan kelas 


 



Disusun Oleh :
1.      Ahmad Irfan Fandi                    XI  IPS 2
2.      Dary Zulfi Hanif                         XI  IPS 2





YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM ( YPI )
MADRASAH ALIYAH AL BIDAYAH CANDI
KECAMATAN BANDUNGAN KABUPATEN SEMARANG
2015/ 2016

HALAMAN PENGESAHAN
          Karya tulis ini telah disahkan untuk memenuhi tugas guru pelajaran Bahasa Indonesia
             Pada har                     :
             Tanggal                      :




                                                                                                                          Candi,               2015
Mengetahui
Kepala Madrasah                                                        Pembimbing


DRS. EDI WINARTO                                               Gendriyani, S.Pd
NIP.                                                                            NIP.            








PERSETUJUAN PEMBIMBING
          Karya tulis ini telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing untuk disajikan atau diperiksa sebagai tugas mata  pelajaran Bahasa Indonesia
            




                                                                                                                          Candi,               2015
                                                                                    Pembimbing


                                                                                   
                                                                                    NIP.                                                   







KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Atas ridho Allah SWT kami dapat menyelesaikan Karya Tulis ini dengan baik tidak ada suatu halangan. Dengan bangga Karya Tulis ini kami beri judul “ZIARAH WISATA DI JAWA TENGAH”
            Penulis berharap Karya Tulis yang kami susun ini dapat memberikan manfaat sebagai penambah wawasan bagi para pembaca.
Penulis menyadari, bahwa Karya Tulis ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dan orang-orang disekitar penulis. Maka dengan rasa suka cita, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Bapak Drs. Edi Winarto selaku Kepala Madrasah Aliyah Al Bidayah Candi;
2.      Bapak Effendi Fitriawan, S.Pd selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia;
3.      Ibu Gendriyani,S.Pd selaku pembimbing;
4.      Segenap dewan guru dan staf karyawan Madrasah Aliyah Al Bidayah Candi;
5.      Kedua orang tua yang telah memberikan do’a beserta semangatnya;
6.      Para pembaca yang penulis cintai;
Penulis berharap, semoga dengan adanya Karya Tulis ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Penulis juga mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan Karya Tulis kami selanjutnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Candi, Mei 2016
Penulis


DAFTAR ISI
2.4 Jawa 4
2.5 Bali 5
BAB III METODE PENELITIAN 6
BAB IV HASIL PENELITIAN   7
4.1 Makam Raden Patah. 7
4.2 Makam Sunan Kali Jaga. 8
4.3 Makam Sunan Kudus. 10
4.4 Makam Syeikh Jumadil Kubro. 11
4.5 Makam Hasan Munadi dan Hasan Dipuro. 14
4.6 Masjid Agung Demak. 17
4.7 Masjid Agung Jawa Tengah. 18
4.8 Masjid Menara Kudus. 22
4.9 Lawang Sewu. 24
4.10 Candi Gedong songo 26









BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Kegiatan ziarah wisata adalah kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh MA AL Bidayah bagi siswa kelas XI. Ziarah wisata adalah salah satu sarana untuk menyegarkan pikiran sekaligus untuk menambah wawasan tentang tempat-tempat ziarah dan tempat-tempat wisata di Jawa Tengah.
            Minimnya pengetahuan tentang tempat-tempat ziarah dan wisata maka penulis akan menjelaskan bagaimana cara pelaksanaan ziarah wisata di Jawa Tengah,  hal ini untuk menambah wawsan bagi pembaca.
1.2  Rumusan Masalah
        1.2.1  Bagaimana pelaksanaan ziarah wisata di Jawa Tengah?
        1.2.2  Apa dampak  negatif  dan positif dari kegiatan ziarah wisata ini?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1  Menambah wawasan bagi para pembaca tentang tempat ziarah dan wisata di Jawa Tengah.
1.3.2   Melatih kemampuan penulis dalam menyusun sebuah laporan.

1.4  Manfaat Penelitian
1.4.1  Memberikan sumbangan pengetahuan mengenai  kegiatan ziarah wisata  di Jawa Tengah.
1.4.2 Memberikan alternatif pemilihan kegiatan study tour bagi siswa Madrasah Aliyah.

15   Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :

BAB I  PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
1.2        Tujuan Penulisan
1.3        Manfaat Penelitian
1.4        Metode Pengumpulan Data
1.5        Sistematika Penulisan

BAB II  LANDASAN TEORITIS
2.1        Pengertian ziarah
2.2        Pengertian wisata

BAB III  METODE PENELITIAN
3.1        Jenis Penelitian
3.2        Waktu dan Tempat
3.3        Metode Pengumpulan Data

BAB IV  METODE PENELITIAN
1.      Makam Raden Patah
2.      Makam Sunan Kalijaga
3.      Makam Sunan Kudus
4.      Syeikh Jumadil Kubro                       
5.      Hasan Munadi dan Hasan Dipuro
6.      Masjid Agung Demak
7.      Masjid agung Jawa Tengah
8.      Masjid Menara Kudus
9.      Lawang Sewu
10.  Candi Gedong Songo

BAB V  PENUTUP
5.1        Simpulan
5.2        Saran
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 PENGERTIAN ZIARAH
Kata ziarah menurut bahasa berarti menengok atau mengunjungi, jadi ziarah kubur artinya menengok atau mengunjungi kubur. Sedangkan menurut syariat islam ziarah bukan hanya menengok kubur, bukan pula sekedar tahu dimana ia dikubur atau makam, akan tetapi kedatangan seseorang dengan maksud untuk mendo’akan kepada ahli kubur yang muslim dan mengirim pahala untuknya. Atas bacaan ayat-ayat Al Qur’an dan kalimah-kalimah thayyibah seperti tahlil, tahmid, tasbih, shalawat dan lain-lain .
2.1.1  Manfaat Ziarah
a)      Ia akan mengingatkan akhirat dan kematian sehingga dapat memberikan pelajaran dan ibrah bagi orang yang berziarah.
b)      Mendo’akan keselamatan bagi orang-orang yang telah meninggal dunia.
2.1.2  Tujuan Ziarah
a.       Peziarah  mengambil manfaat dengan mengingat mati dan orang yang telah mati.
b.      Orang yang meninggal mendapat kebaiakan dengan perbuatan baik dan salam untuknya serta mendapat do’a permohonan ampunan.








2.2   PENGERTIAN WISATA
Wisata adalah perjalanan yang dilakukan seseorang atau kelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari daya tarik wisata yang dikunjunginya dalam jangka waktu sementara.

2.2.1 Manfaat Wisata
a.       Dengan berwisata maka kita akan menjadi lebih segar.
b.      Mengetahui keadaan keindahan alam di Indonesia.

2.2.2 Tujuan Wisata
a.       Melestarikan alam lingkungan dan sumber daya.
b.      Memajukan kebudayaan.
c.       Mengangkat citra bangsa.
d.      Memupuk rasa cinta tanah air.














BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  JENIS PENELITIAN
3.1.1 Penelitian Deskriptif adalah salah satu jenis metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya. (Best, 1982 : 119)
3.1.2 Penelitian kualitatif  adalah suatu pendekatan yang peneliti mengumpulkan data secara langsung dan berinteraksi dengan orang-orang ditempat penelitian.  (Mc.Millan dan Schumacher, 2003)

3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
3.2.1 Waktu Pelaksanaan
Hari                          :
Tanggal                    :
Berangkat pukul       :
3.2.2 Tempat
Ziarah
1.      Makam Raden Patah
2.      Makam Sunan Kalijaga
3.      Makam Sunan Kudus
4.      Syeikh Jumadil Kubro                       
5.      Hasan Munadi dan Hasan Dipuro
Wisata
1.      Masjid Agung Demak
2.      Masjid agung Jawa Tengah
3.      Masjid Menara Kudus
4.      Lawang Sewu
5.      Candi Gedong Songo

3.3 METODE PENGUMPULAN DATA
3.3.1 Metode Observasi (Pengamatan)
Dengan metode ini,  kami secara langsung mengunjungi tempat ziarah wisata.

3.3.2 Metode Wawancara (Interview)
Mencari informasi menggunakan system tanya jawab dengan narasumber, seperti juru kunci ataupun penduduk sekitar.

3.3.3 Metode Dokumentasi
Mencari beberapa gambar secara langsung dengan kamera, ponsel maupun mengambil dari media internet.













BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1  Raden Patah
        Raden Patah adalah pendiri Kerajaan Demak sekaligus menjadi sultan demak pertama. Raden Patah bergelar sultan Alam Akbar  Al Fatah, beliau memerintah sejak tahun 1500 M – 1518 M. Diketahui Raden Patah adalah putra terakhir dari Prabu Brawijaya Raja terakhir Majapahit. Ia masuk islam dan berguru pada Sunan Ampel, lalu mempersunting putrinya. Dengan bantuan para sunan, Raden Patah melakukan penyerangan ke Majapahit. Dari penyerangan itu Raden Patah berhasil merebut tahta miliknya dari tangan Girindra Wardhana, kemudian memindahkan pusat kekuasaan ke Kerajaan Demak. Di bawah kekuasaan Raden Patah, agama islam semakin berkembang pesat. Pada masa ini pula di bangun Masjid Agung Demak yang hingga kini masih berdiri di alun-alun kota Demak. Dibawah pimpinan Raden Patah Kesultanan Demak berkembang semakin pesat. Perekonomian Kesultanan ini pun begitu kuat dan stabil. Raden Patah wafat pada tahun 1518 M dan digantikan oleh puteranya Raden Pati Unus untuk memimpin Demak.


4.2  Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali. Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.  Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa beliau juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut BabadTuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.
4.3   Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan Demak Bintoro dan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintah kasultanan Demak yaitu, sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum pengusaha dan penyanyi jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang Adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalan yang terkenal ialah Masjid Menara Kudus, yang arsitrekturnya bergaya campuran hindu dan islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

4.4  Syeikh Maulana Muhamad Jumadil Qubro











Berbicara mengenai Syeikh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) kita berbicara mengenai pendahulu para wali Allah dan pendahulu para habaib di Nusantara Indonesia ini.  Tokoh penting dalam penyebaran Islam di Indonesia ini bahkan memiliki 4 empat tempat yang dipercaya sebagai peristirahatan terakhir Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro).
Salah satunya makam Syeikh Jumadil Kubro (Jamaluddin al-Husain al-Akbar) yang berada di Semarang,terletak  di jalan Yos Sudarso No. 1 Kelurahan Terboyo Kulon, Kecamatan Genuk dan acara doa bersama. Di makam Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) secara regular diadakan acara manaqib setiap malam Jumat Paing jam 19.00 dan pada acara peringatan Maulid Nabi sedangkan setiap Jumat Legi diadakan acara Mujahadah Kubro dan pengajian. Untuk Khaul Akbar diadakan setiap tahun sekali pada bulan Dzulhijjah Jumat terakhir dengan membawa maulidurrosul dan tahlil.
Mengenai Biografi dan siapakah Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) juga memiliki banyak versi sejarah. Nama asli dari  Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) terdapat dua versi yaitu Syeikh Jamaluddin al Husain al Akbar dan Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat (Martin van Bruinessen,1994). Semua pendapat mengenai Biografi dan siapakah Syekh Jumadil Kubro (Syech Jumadil Qubro) mengarah pada 2 pendapat sejarah mengenai beliau termasuk silsilah beliau dan sejarah penyebaran Islam yang beliau lakukan.
Beliau adalah cucu ke-18 Rasulullah Muhammad SAW dari garis Sayyidah Fatimah Az Zahrah al-Battul. Ayahnya bernama Syeikh Jalal yang karena kemuliaan akhlaknya mampu meredam pertikaian Raja Champa dengan rakyatnya. Sehingga, Syeikh Jalal diangkat sebagai raja dan penguasa yang memimpin Negara Champa.



Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syeikh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar datuk Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Syeikh Jamaluddin tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya sendiri. Setelah dewasa, beliau mengembara ke negeri datuknya di Hadramaut. Di sana beliau belajar dan mendalami beragam ilmu dari beberapa ulama yang terkenal di zamannya. Bahkan keilmuan yang beliau pelajari meliputi Ilmu Syari’ah dan Tasawwuf, di samping ilmu-ilmu yang lain.
Selanjutnya, beliau melanjutkan pengembaraannya dalam rangka mencari ilmu dan terus beribadah ke Mekkah dan Madinah. Tujuannya adalah mendalami beragam keilmuan, terutama ilmu Islam yang sangat variatif. Setelah sekian lama belajar dari berbagai ulama terkemuka, kemudian beliau pergi menuju Gujarat untuk berdakwah dengan jalur perdagangan. Melalui jaringan perdagangan itulah beliau berjumpa dengan ulama lainnya yang juga menyebarkan Islam di Jawa.
Kemudian beliau dakwah bersama para ulama’ termasuk para putra-putri dan santrinya menuju tanah Jawa. Mereka menggunakan tiga kenderaan laut, sekaligus terbagi dalam tiga kelompok dakwah. Kelompok pertama dipimpin Syeikh Jumadil Kubro memasuki tanah Jawa melalui Semarang dan singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya perjalanan menuju Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil bernama Trowulan yang berada di dekat kerajaan Majapahit. Kemudian jamaah tersebut membangun sejumlah padepokan untuk mendidik dan mengajarkan beragam ilmu kepada siapa saja yang  hendak mendalami ilmu keislaman.
Kelompok kedua, terdapat cucunya yang bernama al-Imam Ja’far Ibrahim Ibn Barkat Zainal Abidin dibantu saudaranya yakni Malik Ibrahim menuju kota Gresik. Dan kelompok ketiga adalah jamaah yang dipimpin putranya yakni al-Imam al-Qutb Sayyid Ibrahim Asmoro Qondy menuju Tuban. Namanya masyhur dengan sebutan “Pandhito Ratu” karena beliau memperoleh Ilmu Kasyf (transparansi dan keserba jelasan ilmu/ilmu yang sulit dipahami orang awam, beliau diberi kelebihan memahaminya).
Beliau wafat tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup di antara dua Raja Majapahit (awal Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam Wuruk). Bermula dari usul yang diajukan Syeikh Jumadil Kubro kepada penguasa Islam di Turki (Sultan Muhammad I) untuk menyebarkan Agama Islam si wilayah Kerajaan Majapahit. Pada saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama Hindu di samping keyakinan masyarakat pada arwah leluhur dan benda-benda suci. Keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang menunjukkan perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan Agama Islam melawan penguasa Majapahit sangatlah besar.
Pengaruh beliau dalam memberikan pencerahan bekehidupan yang berperadaban, Syeikh maulana Jumadil Kubro dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara dakwah yang pelan tapi pasti, menjadikan beliau amat disegani pada zaman itu.

4.5    Hasan Munadi dan Hasan Dipuro
 
Di wilayah Ungaran Kabupaten Semarang juga dikenal penyebar agama Islam bernama Syaikh Hasan Munadi dari Desa Nyatnyono. Beliau adalah menantu dari Ki Ageng Makukuhan, seorang aulia yang dimakamkan di daerah Kedu Temanggung Jawa Tengah. Beberapa bekas peninggalan Hasan Munadi yang konon disebut-sebut sebagai keturunan Brawijaya V itu, hingga sekarang juga masih dapat dijumpai di wilayah Ungaran dan Gunungpati Semarang.
Dalam perjalanannya, Hasan Munadi juga pernah singgah dan mengajarkan agama Islam di Desa Nongkosawit Gunungpati Semarang. Hal itu dibenarkan Sutiknyo (47) warga RT 01 RW 01 Desa Nongkosawit yang juga sebagai juru kunci salah satu peninggalan Syaikh Hasan Munadi berupa empat sakaguru beserta tumpang sari masjid.
”Dulu Syaikh Hasan Munadi pernah menyebarkan agama Islam dan hendak mendirikan masjid. Namun karena sudah lama tidak pernah menengok kampung halaman di Nyatnyono, beliau kemudian mau pulang,” kata Sutiknyo.
Saat hendak pulang ke desanya, pembangunan masjid di Desa Nongkosawit belum selesai. Meskipun demikan, dia sudah berpesan kepada para kiai dan santrinya untuk terus melaksanakan pembangunan masjid dan mengaji seperti yang telah diajarkannya kepada mereka.
Ketika sampai di tengah perjalanan menuju kampung halaman, perasaan Syaikh Hasan Munadi tidak enak. Dia kemudian kembali lagi ke Desa Nongkosawit dan melihat dari kejauhan kalau warga sekitar ternyata tidak melaksanakan pesannya untuk terus mengaji, melainkan justru klonengan dan janggrungan. Melihat hal itu, Syaikh Hasan Munadi kemudian bersabda bahwa hingga sampai kapan pun, tidak akan ada santri atau kiai kondang dari Desa Nongkosawit.
 ”Selain sakaguru masjid, beliau juga meninggalkan benda pusaka berupa bende di wilayah ini dan setiap tahun pada bulan Rajab ada tradisi arak-arakan bende,” terang Sutiknyo. Sementara peninggalan lain adalah sebuah pusaka bedug yang kini berada di Desa Randusari Gunungpati.
Di Ungaran, salah satu bangunan peninggalan dari Hasan Munadi adalah Masjid Subulussalam Nyatnyono. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Karomah Hasan Munadi tersebut bahkan dipercaya lebih tua daripada Masjid Agung Demak.
Konon menurut cerita, sebelum mengerjakan masjid tersebut, Hasan Munadi didatangi Sunan Kalijaga. Saat itu dia diminta membantu pembangunan Masjid Agung Demak yang juga akan didirikan. Hasan Munadi bersedia memenuhi permintaan Sunan Kalijaga dengan sebuah syarat, yakni meminta Walisanga menyelesaikan masjid di lereng timur Gunung Ungaran dulu sebelum membangun Masjid Demak.
Kepada Sunan Kalijaga, dia meminta salah satu tiang penyangga yang akan digunakan untuk mendirikan Masjid Demak dan permintaan tersebut dikabulkan. Sunan Kalijaga mengantarkan salah satu tiang yang diminta ke Nyatnyono. Pada awal pembangunannya, masjid tua itu hanya didirikan dengan satu tiang. Namun, pada zaman Belanda, oleh Kiai Raden Purwo Hadi ditambah menjadi empat saka (tiang). Pada 1985 masjid tersebut direnovasi oleh masyarakat tanpa mengubah posisi atau jumlah tiangnya.
Hasan Munadi tercatat sebagai punggawa Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Fatah. Dengan pangkat tumenggung, dia dipercaya memimpin tentara Demak mengatasi segala bentuk kejahatan dan keangkuhan yang mengancam kejayaan Kerajaan Demak. Hasan Munadi kemudian memilih mensyiarkan Islam di daerah selatan kerajaan dan meninggal pada usia 130 tahun. Beliau meninggal dan kemudian dimakamkan di kampung halaman Nyatnyono di atas Masjid Subulussalam.
Tak jauh dari Makam Hasan Munadi, terdapat pula pemandian / sendang yang konon dahulunya untuk tempat mandi dan mengambilan air wudhu dari Hasan Munadi, yang dikenal dengan nama Air Keramat Sendang Kalimat Thoyibah. Air tersebut bersumber dari mata air yang dahulunya tongkat dari Hasan Munadi ditancapkan ketanah. Bila kita rasakan air tersebut maka air tersebut seperti air zam zam. Konon air keramat Sendang Kalimat Thoyibah berkhasiat istimewa wasilah mengobati segala penyakit.
Namun pengunjung sebelum mandi diwajibkan untuk mengganti pakaian dengan sarung dan juga tidak diperbolehkan memakai perhiasan, cincin, gelang dan lain sebagainya. Bila kita lupa membawa sarung maka disediakan jasa untuk penyewaan sarung dipintu masuk sendang air Sendang Kalimat Thoyibah.
Berikut ini tata cara tahlil untuk mandi di Air Keramat Sendang Thoyibah, dibaca sebelum mandi/sebelum air digunakan untuk wasilah atau apa saja yang tidak bertentangan dengan agama :
1)      Uluk salam kepada Nabi Khidir as. "Assalamu'alaika Ya Nabiyyallahi Khidir Balya Bin Malkaan'alahissalam.
2)      Membaca dua kalimat syahadat (3 X)
3)      Berwudhu seperti biasa. "Nawaitu Wudhu'a Liraf'il Khakimul Khadatsil Ashghari Fardhal Lillahi Ta'alaa."
4)      Membaca Surat Al-Fatikhah dikhususkan kepada waliyullah Hasan Munadi dan waliyullah Hasan Dipuro. Illa khadroti Waliyullah Hasan Munadi wa ilaa khadrati Waliyullah Hasan Dipuro (3 X).
5)      Membaca shalawat Nabi SAW kemudian berdo'a kepada Allah SWT sebelum mandi. " Allahumma shalli 'alaa Sayyidinaa Muhammad (7 X).

4.6    Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak adalah salah satu mesjid tertua yang ada di Indonesia. Masjid ini terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Walisongo. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi.
Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di kompleks ini juga terdapat Museum Masjid Agung Demak, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat Masjid Agung Demak.
Masjid Agung Demak dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1995.

4.7     Masjid Agung Jawa Tengah Semarang
Masjid Agung Jawa Tengah adalah masjid yang terletak di Semarang, provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Masjid ini mulai dibangun sejak tahun 2001 hingga selesai secara keseluruhan pada tahun 2006. Masjid ini berdiri di atas lahan 10 hektare. Masjid Agung diresmikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 November 2006. Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) merupakan masjid provinsi bagi provinsi Jawa Tengah
Keberadaan bangunan masjid ini tak lepas dari Masjid Besar Kauman Semarang. Pembangunan MAJT berawal dari kembalinya tanah banda (harta) wakaf milik Masjid Besar Kauman Semarang yang telah sekian lama tak tentu rimbanya. Raibnya banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang berawal dari proses tukar guling tanah wakaf Masjid Kauman seluas 119.127 ha yang dikelola oleh BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) bentukan Bidang Urusan Agama Depag Jawa Tengah. Dengan alasan tanah itu tidak produktif, oleh BKM tanah itu di tukar guling dengan tanah seluas 250 ha di Demak lewat PT. Sambirejo. Kemudian berpindah tangan ke PT. Tensindo milik Tjipto Siswoyo.
Hasil perjuangan banyak pihak untuk mengembalikan banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang itu ahirnya berbuah manis setelah melalui perjuangan panjang. MAJT sendiri dibangun di atas salah satu petak tanah banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang yang telah kembali tersebut.
Pada tanggal 6 juni 2001 Gubernur Jawa Tengah membentuk Tim Koordinasi Pembangunan Masjid Agung Jawa Tengah untuk menangani masalah-masalah baik yang mendasar maupun teknis. Berkat niat yang luhur dan silaturahmi yang erat, dalam waktu kerja yang amat singkat keputusan-keputusan pokok sudah dapat ditentukan : status tanah, persetujuan pembiayaan dari APBD oleh DPRD Jawa Tengah, serta pemiilhan lahan tapak dan program ruang.
Kemudian pembangunan masjid tersebut dimulai pada hari Jumat, 6 September 2002 yang ditandai dengan pemasangan tiang pancang perdana yang dilakukan Menteri Agama Ri, Prof. Dr. H. Said Agil Husen al-Munawar, KH. MA Sahal Mahfudz dan Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto. Pemasangan tiang pancang pertama tersebut juga dihadiri oleh tujuh duta besar dari Negara-negara sahabat, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Mesir, Palestina, dan Abu Dabi. Dengan demikian mata dan perhatian dunia internasional pun mendukung dibangunnya Masjid Agung Jawa Tengah tersebut.
MAJT diresmikan pada tanggal 14 November 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono. Masjid dengan luas areal tanah 10 Hektar dan luas bangunan induk untuk salat 7.669 meter persegi secara keseluruhan pembangunan Masjid ini menelan biaya sebesar Rp 198.692.340.000.
Meskipun baru diresmikan pada tanggal 14 Nopember 2006, namun masjid ini telah difungsikan untuk ibadah jauh sebelum tanggal tersebut. Masjid megah ini telah digunakan ibadah Salat Jumat untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Maret 2004 dengan Khatib Drs. H. M. Chabib Thoha, MA, (Kakanwil Depag Jawa Tengah).
Masjid Agung Jawa Tengah dirancang dalam gaya arsitektural campuran Jawa, Islam dan Romawi. Diarsiteki oleh Ir. H. Ahmad Fanani dari PT. Atelier Enam Jakarta yang memenangkan sayembara desain MAJT tahun 2001. Bangunan utama masjid beratap limas khas bangunan Jawa namun dibagian ujungnya dilengkapi dengan kubah besar berdiameter 20 meter ditambah lagi dengan 4 menara masing masing setinggi 62 meter ditiap penjuru atapnya sebagai bentuk bangunan masjid universal Islam lengkap dengan satu menara terpisah dari bangunan masjid setinggi 99 meter.
Gaya Romawi terlihat dari bangunan 25 pilar dipelataran masjid. Pilar pilar bergaya koloseum Athena di Romawi dihiasi kaligrafi kaligrafi yang indah, menyimbolkan 25 Nabi dan Rosul, di gerbang ditulis dua kalimat syahadat, pada bidang datar tertulis huruf Arab Melayu “Sucining Guno Gapuraning Gusti“.
Masjid Agung Jawa Tengah ini, selain disiapkan sebagai tempat ibadah, juga dipersiapkan sebagai objek wisata religius. Untuk menunjang tujuan tersebut, Masjid Agung ini dilengkapi dengan wisma penginapan dengan kapasitas 23 kamar berbagai kelas, sehingga para peziarah yang ingin bermalam bisa memanfaatkan fasilitas.
Daya tarik lain dari masjid ini adalah Menara Al Husna atau Al Husna Tower yang tingginya 99 meter. Bagian dasar dari menara ini terdapat Studio Radio Dais (Dakwah Islam). Sedangkan di lantai 2 dan lantai 3 digunakan sebagai Museum Kebudayaan Islam, dan di lantai 18 terdapat Kafe Muslim yang dapat berputar 360 derajat. Lantai 19 untuk menara pandang, dilengkapi 5 teropong yang bisa melihat kota Semarang. Pada awal Ramadhan 1427 H lalu, teropong di masjid ini untuk pertama kalinya digunakan untuk melihat Rukyatul Hilal oleh Tim Rukyah Jawa Tengah dengan menggunakan teropong canggih dari Boscha.
Di dalam area MAJT terdapat Menara Asma Al-Husna Setinggi 99 Meter terdiri dari : lantai 1 untuk Studio Radio DAIS MAJT, lantai 2 untuk museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, Lantai 18 rumah makan berputar, lantai 19 Gardu pandang kota Semarang dan lantai 19 Tempat rukyat al-hilal.
Area serambi Masjid Agung Jawa Tengah dilengkapi 6 payung raksasa otomatis seperti yang ada di Masjid Nabawi, Tinggi masing masing payung elektrik adalah 20 meter dengan diameter 14 meter. Payung elektrik dibuka setiap salat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dengan catatan kondisi angin tidak melebihi 200 knot, namun jika pengunjung ada yang ingin melihat proses mengembangnya payung tersebut bisa menghubungi pengurus masjid.
MAJT memiliki koleksi Al Quran raksasa berukuran 145 x 95 cm². Ditulis tangan oleh Drs. Khyatudin, dari Pondok Pesantren Al-Asyariyyah, Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo. Lokasi berada di dalam ruang utama tempat salat. Bedug raksasa berukuran panjang 310 cm, diameter 220 cm. Merupakan replika bedug Pendowo Purworejo. Dibuat oleh para santri pondok pesantren Alfalah, Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, asuhan KH Ahmad Sobri, menggunakan kulit lembu Australia.
Tongkat khatib MAJT merupakan tongkat pemberian Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darusalam

4.8    Masjid Menara Kudus
 
Masjid Menara Kudus (disebut juga dengan Masjid Al Aqsa dan Masjid Al Manar) adalah sebuah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama. Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu. Pada masa kini, masjid ini biasanya menjadi pusat keramaian pada festival dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk menyambut bulan Ramadan.
Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas dari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sebagaimana para walisongo yang lainnya, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, dia mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha. Pencampuran budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat kita lihat pada masjid Menara Kudus ini.
Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.
Masjid Menara Kudus ini memiliki 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918-an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang merupakan "padasan" tersebut merupakan peninggalan kuna dan dijadikan sebagai tempat wudhu.
Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang Kembar".
Di komplek Masjid juga terdapat pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas pancuran itu diletakkan arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika Marga.
Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.
Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.

4.9     Lawang Sewu
Lawang Sewu (bahasa Indonesia: seribu pintu) adalah gedung gedung bersejarah di Indonesia yang berlokasi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Gedung ini, dahulu yang merupakan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein.
Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu karena bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak, meskipun kenyataannya, jumlah pintunya tidak mencapai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Bangunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober - 19 Oktober 1945). Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
Saat ini bangunan tua tersebut telah mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero.
Bangunan Lawang Sewu dibangun pada 27 Februari 1904 dengan nama lain Het hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat NIS). Awalnya kegiatan administrasi perkantoran dilakukan di Stasiun Semarang Gudang (Samarang NIS), namun dengan berkembangnya jalur jaringan kereta yang sangat pesat, mengakibatkan bertambahnya personil teknis dan tenaga administrasi yang tidak sedikit seiring berkembangnya administrasi perkantoran.
Pada akibatnya kantor NIS di stasiun Samarang NIS tidak lagi memadai. Berbagai solusi dilakukan NIS antara lain menyewa beberapa bangunan milik perseorangan sebagai solusi sementara yang justru menambah tidak efisien. Apalagi letak stasiun Samarang NIS berada di dekat rawa sehingga urusan sanitasi dan kesehatan pun menjadi pertimbangan penting. Maka, diusulkanlah alternatif lain: membangun kantor administrasi di lokasi baru. Pilihan jatuh ke lahan yang pada masa itu berada di pinggir kota berdekatan dengan kediaman Residen. Letaknya di ujung Bodjongweg Semarang (sekarang Jalan Pemuda), di sudut pertemuan Bodjongweg dan Samarang naar Kendalweg (jalan raya menuju Kendal).
NIS mempercayakan rancangan gedung kantor pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan dilakukan di Belanda, baru kemudian gambar-gambar dibawa ke Kota Semarang. Melihat dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwa site plan dan denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangani di Amsterdam tahun 1903.

4.10            Candi Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat sembilan buah candi.
Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar antara 19-27 °C).
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Selain itu, objek wisata ini juga dilengkapi dengan pemandian air panas dari mata air yang mengandung belerang, area perkemahan, dan wisata berkuda.
Candi Gedong Songo berada di lereng Gunung Ungaran, tepatnya di Candi Gedongsongo, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang dan kompleks candi ini dibangun pada abad ke-9 Masehi. Gedong Songo berasal dari bahasa Jawa, “Gedong” berarti rumah atau bangunan, “Songo” berarti sembilan. Jadi Arti kata Gedongsongo adalah sembilan (kelompok) bangunan.
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang. Kabut tipis turun dari atas gunung sering muncul mengakibatkan mata tidak dapat memandang Candi Gedongsongo dari kejauhan. Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin. Untuk menuju ke Candi Gedong I, kita harus berjalan sejauh 200 meter melalui jalan setapak yang naik. Anda bisa memanfaatkan jasa transportasi kuda untuk berwisata mengelilingi obyek wisata Candi Gedongsongo. Tahun 1740, Loten menemukan kompleks Candi Gedong Songo. Tahun 1804, Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena hanya ditemukan tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1925, Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedong Songo pada tahun 1865. Tahun 1908 Van Stein Callenfels melakukan penelitian terhadapt kompleks candi dan Knebel melakukan inventarisasi pada tahun 1910-1911.
Disela-sela antara Candi Gedong III dengan Gedong IV terdapat sebuah kepunden gunung sebagai sumber air panas dengan kandungan belerang cukup tinggi. Para wisatawan dapat mandi dan menghangatkan tubuh disebuah pemandian yang dibangun di dekat kepunden tersebut. Bau belerangnya cukup kuat dan kepulan asapnya lumayan tebal ketika mendekati sumber air panas tersebut. Karena keindahannya Candi Gedong Songo ini sering menjadi tempat yang indah untuk foto foto Pre Wedding.
Tiket Masuk: Dewasa/5 tahun ke atas: Rp 5.000/orang dan Rp 25.000/orang untuk Wisatawan Asing [2012].
Tarif Jasa Naik Kuda Candi Gedong Songo
1)      Wisata Desa Rp 25.000 (Wisman Rp 35.000)
2)      Ke Air Panas Rp 40.000 (Wisman Rp 60.000)
3)      Ke Candi II Rp 30.000 (Wisman Rp 40.000)
4)      Paket candi Songo Rp 50.000 (Wisman Rp 70.000)
Untuk menuju Candi Gedong Songo diperlukan perjalanan sekitar 40 menit dari Kota Ambarawa dengan jalanan yang naik, dan kemiringannya sangat tajam. Lokasi candi juga dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dari obyek wisata Bandungan. Berikut daftar jarak tempuh menuju candi ini.
1)      Ungaran – Gedong Songo : 25 km
2)      Ambarawa – Gedong Songo : 15 km
3)       Semarang – Gedong Songo : 45 km
BAB V
PENUTUP
A.     Simpulan
Kegiatan  ziarah  wisata ke daerah Jawa Tengah  merupakan kegiatan tahunan di MA AL BIDAYAH Candi yang selalu dilaksanakan bagi kelas XI. Kegiatan ziarah wisata ke daerah Jawa Tengah  merupakan kegiatan yang memiliki manfaat,  yaitu dapat  melakukan ziarah ke makam – makam Waliyullah atau tokoh penting dan  juga dapat digunakan sebagai sarana untuk menambah pengetahuan, serta mendapat hiburan.

B.     Saran
1.      Jangan mengotori tempat ziarah dan tempat wisata.
2.      Jangan melanggar peraturan tempat - tempat ziarah wisata.
3.      Kegiatan ziarah wisata sebaiknya direncanakan secara matang agar kegiatan dapat dilaksanakan dengan baik.
4.      Kegiatan ziarah wisata dapat dijadikan alternatif pemilihan study tour.
        


                       




DAFTAR PUSTAKA

www.geogle.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar